
Pemeran mantri buduh Arja Widyaksara, I Gusti Ngurah Edi Arta Gunawan menjelaskan, semuanya berawal ketika ia menjadi seorang mahasiswa Strata 1 (S1) Jurusan Bahasa Bali di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) PGRI Bali.
Awalnya membentuk suatu wadah sekaa santi dengan nama pasantian Wimurda Sastra. Dari sana, ia mengaku mulai belajar berbagai jenis tembang. Pada saat itu, pria yang akrab disapa Gus Edi ini, belum mengetahui pakem-pakem Arja. Terlebih gerak tarian, dan penyesuaian suara tembang dengan gambelan. Dikarenakan sering menggeluti dunia seni pasantian, lama-kelamaan penasaran untuk menyelaraskan dengan tarian. Dan, akhirnya sekaa pasantian tersebut, membentuk juga sebuah arja.
Arja tersebut diberi nama Arja Widyaksara IKIP PGRI Bali. Karena pada awal terbentuknya Arja dan pasantiannya berasal dari sana. Bahkan nuasen (memulai pertama) , Gus Edi yang juga
asisten dosen Bahasa Bali di IKIP PGRI Bali ini, memohon restu di Pura Widyaksara yang berada di kampus tersebut. Selain itu, saat nuasen disahkan juga oleh Rektor IKIP PGRI Bali, Dr. I Made Suarta, SH, M.Hum. Meskipun sekarang sudah tamat, dan melanjutkan kuliah strata dua (S2) di Program Pascasarjana UNHI Denpasar, Gus Edi tetap membawa nama Arja Widyaksara yang berasal dari kampusnya dulu.
Ia mengaku mengambil dari sebuah nama pura di kampus IKIP PGRI Bali, yaitua Widyaksara yang berarti menerangi dalam kegelapan dengan cara belajar.
Bertepatan dengan tumpek klurut 2011 lalu, pengajar di SMK Pembangunan Denpasar ini
melaksanakan upacara matur piuning (mohon doa restu), agar yang bersthana di pura tersebut memberikan jalan, selalu menuntun segala kegiatan Arja kedepannya. “Setua apapun dan semasih kami sehat, akan mengibarkan nama Arja Widyaksara di masyarakat,” jelas pria 27 tahun tersebut kepada
Bali Express (Jawa Pos Group) di Kampus Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar, pekan lalu. “Pemeran Arja memang kebanyakan pengajar, baik di SD maupun di SMP yang ada di Denpasar, dan semuanya masih bujang. Bahkan sampai sekaa tabuhnya juga,” jelas pria asli Tabanan tersebut.
Sampai saat ini, Gus Edi terus berusaha mengajak pemuda di sekitarnya terlibat, agar pementasan Arja tidak dipandang hanya untuk menghibur orang tua saja. Di samping ikut menjaga seni budaya yang diwarisi oleh leluhur, juga untuk mengurangi kegiatan negatif, seperti salah pergaulan dan menjadi pecandu narkoba. “Meskipun masih ada kekurangan dalam pementasan, tetapi saya yakin lama-kelamaan pasti akan bisa tampil dengan maksimal,” terangnya.
Gus Edi mengaku pada awalnya memang pernah diimbau keluarga untuk mengatur jadwal pentas karena kerap pulang jelang pagi hari.
“Kendala yang biasa ditemui dalam pementasan arja, kesulitan dalam menyesuaikan suara.
Dikarenakan tarian Arja terdiri atas tembang (nyanyian), dan gerak tubuh berupa tandang, tangkep, tagkis, dan seledet,” terang Gus Edi yang mengaku dilatih Ibu Murniasih yang dikenal dengan Ibu Camplung ini. “ Tetap berdoa di tempat ngayah sebelum pentas,” jelasnya.
Dalam pementasannya, terkadang mengambil sebuah cerita dari sebuah babad. Yakni cerita yang sudah pasti, sehingga penokohan harus pasti. “Tidak berani mengada-ngada, bahkan mengarang cerita selama pementasan,” akunya.
Gus Edi memaparkan, Sekaa Arja Widyaksara terdiri atas enam pemeran utama. Ia sendiri sebagai mantri buduh, Ni Putu Mery Denayanti sebagai pangantos galuh, sedangkan galuhnya bernama Ni Putu Sucita Dewi, Penasar I Gede Wiratana, sebagai Wijil I Ketut Adi Andre, dan liku I Gede Komang Kartono Yasa.
Sebagai pemeran mantri buduh, ia mengatakaan berawal dari sebuah pementasan tari Cupak yang ada di desanya, yaitu sebagai gerantang. Dari sinilah berawal munculnya taksu dari penokohan Arja yang ia geluti saat ini.
(bx/ade/rin/yes/JPR)